![](https://static.wixstatic.com/media/27c0f5_7ff79f29e63c47cfa892c23cc959dbd1~mv2.png/v1/fill/w_400,h_225,al_c,q_85,enc_auto/27c0f5_7ff79f29e63c47cfa892c23cc959dbd1~mv2.png)
Kepada: Saudara/Saudari Penanya
Dari: Counselor Team ALSA LC Unhas
Perihal:
Teman saya merupakan korban seksual, tetapi dia dapat ancaman yang besar untuk menutupi kasusnya, bagaimana cara dia untuk melaporkan pada pihak yang berwenang tanpa bukti yang kuat dan bagaiman menuntut orang yang mengancam dan juga berperan menutupi dan melindungi si pelaku?
Jawaban Singkat:
Korban kekerasan seksual yang mendapatkan ancaman dan tidak memiliki bukti kuat tetap dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mengatur hak korban untuk melapor, memperoleh perlindungan, dan pendampingan hukum. Selain itu, ancaman yang dilakukan oleh pelaku dapat diproses berdasarkan Pasal 368 KUHP yang membahas mengenai pemerasan dengan ancaman atau Pasal 29 UU ITE jika ancaman dilakukan secara elektronik. Dalam kasus tanpa bukti kuat, keterangan saksi, ahli, dan bukti digital dapat digunakan untuk mendukung laporan korban.
Penjelasan:
Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang menghadapi ancaman dan tidak memiliki bukti kuat merupakan isu krusial dalam sistem hukum Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan untuk memberikan perlindungan lebih komprehensif kepada korban. UU ini mengakui bahwa tindak pidana kekerasan seksual sering kali minim alat bukti, sehingga ketentuan alat bukti telah disesuaikan dengan karakteristik kejahatan tersebut. Dalam kasus tersebut saudara yang ingin melaporan tanpa bukti, tetap boleh melakukan dengan perlindungan hukum yang diperoleh sebagai berikut:
Laporan Tanpa Bukti Kuat:
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, laporan korban adalah salah satu alat bukti yang sah dalam proses penyelidikan. Korban tidak perlu khawatir jika bukti awal kurang memadai karena kepolisian memiliki wewenang untuk mengumpulkan bukti tambahan.
Ancaman terhadap Korban:
Ancaman yang diberikan kepada korban dapat dianggap sebagai tindak pidana pemerasan atau intimidasi sesuai Pasal 368 KUHP. Jika ancaman itu menyertai kekerasan atau intimidasi berat, pelaku dapat dikenai hukuman lebih berat.
Peran Pihak yang Menutupi:
Pasal 221 KUHP mengatur bahwa orang yang dengan sengaja menutupi atau membantu pelaku untuk menghindari tanggung jawab hukum dapat dikenai pidana karena menghalangi proses hukum.
Saran:
Kami juga menyarankan korban untuk segera melapor ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di kantor polisi setempat dengan menceritakan kronologi kejadian secara rinci, termasuk ancaman yang diterima. Selain itu, penting untuk menggunakan jasa pengacara agar hak- hak korban dapat dilindungi selama proses hukum berlangsung, sekaligus membantu menyusun strategi hukum terhadap pelaku maupun pihak yang melindunginya. Untuk menghindari intimidasi lebih lanjut, korban juga dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar mendapat perlindungan selama proses hukum berjalan.
Disclaimer
Jawaban ini tidak merepresentasikan kepentingan organisasi dan murni hanyalah pendapat hukum.
Apabila di kemudian hari terdapat dokumen-dokumen dan/atau keterangan-keterangan lain yang kami terima setelah pendapat hukum ini diberikan, tidak menutup kemungkinan terhadap pendapat hukum ini dapat dilakukan perubahan.
Jawaban ini disusun oleh Counselor Team ALSA LC Unhas yang bekerja sama dengan Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Comments