top of page

PRO LEGALISASI PROSTITUSI

LATAR BELAKANG

Pembangunan suatu bangsa dan negara berkaitan erat dengan permasalahan kependudukannya. Suatu pembangunan dapat berhasil jika didukung oleh subjek pembangunan, yakni penduduk yang memiliki kualitas dan kuantitas yang memadai. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, dan saat ini Indonesia menduduki posisi ke-4 dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Berbagai permasalahan pun muncul akibat jumlah penduduk Indonesia yang saat ini semakin tidak terkendali meskipun saat ini sudah ada program keluarga berencana (KB) yang diadakan oleh pemerintah, namun hal itu bukanlah jawaban yang tepat untuk permasalahan penduduk Indonesia.

Berbicara mengenai permasalahan penduduk maka pada dasarnya kita tidak perlu terlalu jauh dalam mengambil contoh, kita cukup melihat dari salah satu gambaran nyata yang pada dasarnya sangat menjadi problem dalam masyarakat yaitu pengangguran. Menurut Sadono Sukimo, pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum memperolehnya.

Masalah yang ditimbulkan dari pengangguran ini sangat sulit untuk dikendalikan, terutama bagi kaum perempuan yang memiliki pendidikan rendah ataupun perempuan yang kurang mampu dari segi ekonomi terkadang akan berpikir untuk mencari jalan pintas untuk bisa mendapatkan uang demi menghidupi diri sendiri dan keluarga. Nah, adapun jalan yang terkadang ditempuh oleh wanita seperti salah satunya adalah dengan cara bekerja sebagai seks komersial tanpa mempertimbangkan lagi mengenai resiko yang akan diterima nantinya.

Mengenai perilaku seperti ini pada dasarnya sangat sulit untuk dibendung karena ini merupakan hak dari setiap manusia untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing sesuai dengan yang diatur didalam Konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 tentang hak dasar manusia yang dimuat dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia dan BAB XI tentang Agama. Dalam BAB XA, tepatnya Pasal 281 Ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 Jo. Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi oleh hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Pasal diatas telah diatur secara jelas dan tidak bertentangan ketika manusia melakukan hubungan seks dalam keadaan tidak ada paksaan. Jadi pada dasarnya pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk melarang seseorang melakukan hubungan seksual, nah hal itulah sebenarnya yang menjadikan dasar mengapa pemerintah tidak mampu dalam mengendalikan para wanita yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Sehingga pemerintah seharusnya mampu mengendalikan pekerja prostitusi ini agar tidak meresahkan masyarakat dan merugikan negara dan menimbulkan dampak-dampak yang lain terhadap negara. Mengenai masalah ini, maka kita akan membahas secara mendalam bagaimana upaya untuk mengendalikan hal tersebut.

PEMBAHASAN

Sebelum kita terlalu jauh mengomentari mengenai masalah ini, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa sebenarnya titik masalah dari hal ini. Adapun titik masalah pada permasalahan ini adalah apakah prostitusi dilegalkan saja ataukah dibubarkan. Nah, maka dari itu kita harus mengetahui terlebih dahulu apa sebenarnya itu prostitusi.

Kata prostitusi identik dengan kata asing (dalam bahasa latin: pro-stituere atau pro-staures) berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, percabulan, dan pengendakan. Sementara itu, Soedjono D. mengatakan bahwa prostitusi sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri pada “perzinahan”. Seorang ahli yang bernama W. A. Bonger, dalam bukunya “Versprede Geschiften” juga mengemukakan pendapatnya bahwa “prostitutie he maatshapelijke vershijnsel dat vrowen zich beroepsmatig tot hel plegen van sexuele handelingen” (prostitusi adalah gejala sosial, dimana wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan sexual sebagai mata pencahariannya).

Adapun pola prostitusi yang dijalankan selama ini secara garis besar adalah sebagai berikut:

  1. Pelacur Bordil, yaitu praktek pelacuran, dimana para pelacur dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu, berupa rumah-rumah yang dinamakan bordil. yang mana umumnya di tiap bordil dijumpai dimiliki oleh orang-orang yang namanya germo.

  2. Pelacur Panggilan (Call Girl Prostitution), yaitu prakter pelacuran, dimana si pelacur dipanggil oleh si pemesan ke tempat lain yang telah ditentukan, mungkin di hotel atau wisma di daerah pariwisata. Pelacuran panggilan biasanya dikoordinir secara rapi dan terselubung. Namun ada pula wanita-wanita yang secara individual berprofesi sebagai “gadis panggilan” yang biasanya dihubungi pertelepon atau perantara-perantara (calo-calo).

  3. Pelacuran Jalan (Street Prostitution), yang merupakan bentuk prostitusi yang menyolok. Di kota-kota besar kerapkali orang dengan mudah dapat menjumpai wanita yang berdandan dan berias mencolok, seolah-olah menjajakan diri, untuk dibawa oleh yang menghendakinya. Biasanya pelacur yang dijalan dibawa ke hotel-hotel murahan, atau ke bordil atau kemana saja sesuka yang membawa.

Disamping itu, terdapat prostitusi “Prostitusi Semu” atau prostitusi terselubung, biasanya berkedok pada beberapa kegiatan yang diijinkan atau diabaikan seperti umpamanya tukang pijat muda dan cantik yang menunggu di hotel-hotel. Ada diantaranya yang melakukan pelayanan lebih dari sekedar memijat, juga di beberapa tempat-tempat mandi uap atau sauna. Ada pun seperti yang di klab-klab diantaranya yang melakukan tugas sampingan lebih dari sekedar dansa atau sekedar teman minum.

Adapun kita melihat dari hal ini, maka tentu ada beberapa alasan yang mendasar seorang wanita untuk menjadi seorang pelacur, antara lain dapat saya jelaskan yaitu;

  1. Karena tekanan ekonomi, seorang tanpa pekerjaan tentunya tidak akan memperoleh penghasilan untuk nafkahnya, maka terpaksalah mereka untuk hidup menjual diri sendiri dengan jalan dan cara yang paling mudah.

  2. Karena tidak puas dengan posisi yang ada.

  3. Walau sudah mempunyai pekerjaan, tetapi belum puas karena tidak sanggup membeli barang-barang perhiasan yang bagus-bagus.

  4. Karena kebodohan, tidak mempunyai pendidikan dan intelegensi

  5. Karena cacat dalam jiwanya

  6. Karena sakit hati, ditinggalkan oleh suami atau si suami beristri lagi sedangkan dia tidak rela dimadu

  7. Karena tidak puas dengan kehidupan sex, sebab bersifat hypersexuil.

Karena faktor tersebut yang secara umum dikenal sebagai sebab atau alasan seseorang perempuan terjun dalam pentas pelacuran. Bahkan mengenai hal ini Seorang pekerja sosial Inggris telah mengadakan penelitian dan dimuat dalam buku “Women of The Street” tentang keadaan individu dan sosial yang menyebabkan seorang wanita menjadi pelacur sebagai berikut :

  1. Rasa terasing dari pergaulan atau rasa diasingkan dalam pergaulan hidup pada suatu masa tertentu di dalam hidupnya.

  2. Faktor-faktor dalam aktif dalam keadaan sebelum diputuskan untuk melacurkan diri; dalam kenyataan ini merupakan sebab langsung, tetapi hampir selalu dan hanya mungkin terjadi karena keadaan sebelumnya yang memungkinkan hal tersebut terjadi.

  3. Tergantung dari kepribadian wanita itu sendiri, yang berhubungan erat dengan past experience, plus present situation, plus personal interpretation of them both.

Dari hal ini bukan saja wanita yang menjadi peran satu-satunya namun para laki-laki juga sangat berperan dalam terjadinya prostitusi ini. Nah adapun penelitian yang telah dilakukan seorang ahli bernama Kingsey yang melakukan penelitian terhadap dua belas ribu orang, mengemukakan alasan-alasan mengapa laki-laki berhubungan dengan pelacuran sebagi berikut :

  1. Sebab tidak atau kurangnya jalan keluar bagi kebutuhan seksuil mereka

  2. Sebab berhubungan dengan pelacur, lebih mudah dan lebih murah dianggap oleh mereka yang butuh penyaluran

  3. Sebab berhubungan dengan pelacur secara bayaran, begitu selesai dapat segera melupakannya.

Alasan-alasan seperti inilah yang semakin mempersulit untuk mengendalikan prostitusi ini, karena ada beberapa faktor yang mendukung berlangsung dan bertahannya prostitusi ini, yaitu Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya pelacuran adalah berhubungan dengan sifat-sifat alami manusia terutama faktor biologis. A.AW. Brower berkata bahwa “jabatan” pelacur sudah sangat tua, sejak pernikahan menjadi suatu lembaga, sudah mulai terjadi pelacuran. Alasan utama katanya adalah alasan biologis. Kalau pernikahan menjadi lembaga, sang laki-laki harus menguasai dirinya pada waktu istrinya mengandung tua atau sakit. Karena tidak setiap orang sanggup untuk menguasai dirinya terpaksa bapak mencari outlet (jalan keluar), karena “menguasai diri” tidak begitu gampang seperti yang diajarkan para pemuka agama. Baik tidak baik nyatanya berabad-abad para pameget memakai suatu lembaga yang resmi atau tidak resmi: pelacuran.

George Riley Scott dalam buku “History of Prostitution” mengatakan bahwa: “Sebab yang sebenarnya dari pelacuran adalah keinginan seksuil laki-laki. Kegiatan ini menciptakan kehendak berzinah diluar perkawinan, dan kenyataan bahwa laki-laki itu bersedia membayar keperluan pemuas seksuilnya. Inilah yang menimbulkan danya profesionil”.

Seandainya tertutup kemungkinan penyaluran keinginan biologis melalui pelacuran ini, maka hal ini dapat menjadi ancaman yang cukup menggelisahkan dimana gadis-gadis dan wanita akan takut berada sendirian diluar rumah; seperti yang dikemukakan oleh A.Hijmans dalam bukunya yang berjudul “Vrouw en Man in De Prostitutie” bahwa : “Ik will U wel verklaren, dat ikut het niet wagen zou zels op klaarlichte dag met mijnvrouw en dochter to wan delen in een stad, waar geen bordelen zijn”. (Suka tidak suka seolah-olah pelacuran merupakan sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat, sebagai penyaluran sesuatu yang tidak baik, yang kotor agar tidak mengganggu masyarakat secara keseluruhan)

Thomas Aquinas mensitir pandangan yang dikemukanan Agustinus bahwa pelacuran sama pentingnya dengan selokan atau riool didalam sebuah istana. Mungkin tanpa selokan sebuah istana indah atau bagaimanapun megahnya lambat laun akan mesum karena tidak ada jalan untuk membuang kotoran yang ada didalam istana itu.

Riley Scott beranggapan bahwa laki-laki pada hakekatnya adalah poligam dalam relasi hubungan dengan kenyataan sosial maka seolah-olah terjadi suatu perestuan sesuatu yang tidak layak dalam masyarakat, yang memungkinkan tercegahnya ketidakwajaran sampai batas-batas yang minimal. Pelacuran merupakan jalan keluar yang menetralisir ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh perkawinan monogami yang keras, yang mana seakan-akan ada hubungan kausalitas antara penegakan norma perkawinan dan penerimaan secara diam-diam prostitusi di lain pihak.

Memang kodrat manusia dengan sifat-sifat yang melekat pada pribadinya tidak dapat begitu saja diatur oleh patokan norma. Sehingga masuk akal kalau pelacuran adalah jalan keluar dalam menyalurkan perkawinan monogami yang keras tadi. Tetapi mau tidak mau orang juga harus mengakui terdapat laki-laki yang berpoligami berdasarkan penghalalan hukum dan agama terdapat diantaranya yang juga berhubungan dengan pelacur.

Dewasa ini, banyak sekali orang yang mencari kenikmatan dalam bidang seksual dan hal ini menyebabkan banyak terjadi seks bebas yang menjamur pada segala kalangan. Hal ini tentu saja dimanfaatkan bagi para pengelana pencari harta untuk mendapat selembar uang demi melanjutkan hidup mereka. Ya, mereka yang merupakan pemain kecil pada kehidupan harus berusaha melanjutkan hidup. Tuntutan dari ketidakadilan hidup, serta ketidak-berdayaan mereka dalam mencari apa yang layak jelas menuntut adanya ketidak-layakan dalam upaya mereka melanjutkan hidup termasuk menjual diri sendiri. Itulah prostitusi, kegiatan menyediakan aktivitas seksual dengan hasil berupa imbalan uang adalah kegiatan yang mereka anggap layak dalam upaya memenuhi tuntutan kehidupan ini.

Kontradiksi dengan upaya tersebut, banyak sekali masyarakat di Indonesia yang menganggap bahwa prostitusi ini merupakan suatu kegiatan yang tidak layak serta merusak moral bangsa. Anggapan itu adalah hal yang wajar mengingat masih tabunya hal-hal yang berbau seks dikalangan masyarakat. Kejar-kejaran yang terjadi antara polisi dan PSK (Pekerja Seks Komersial sebagai pelaku prostitusi) serta razia petugas merupakan berita yang dapat kita lihat setiap hari pada media televisi dan lain sebagainya. Agama pun tidak jarang dijadikan pembenaran bagi mereka yang menolak adanya prostitusi. Sebenarnya, ini semua tergantung dari sudut pandang kita yang melihat hal ini. Tidak ada yang mutlak benar ataupun yang mutlak salah.

Demi tuntutan dari kalangan mayoritas sebagai pihak penolak dari prostitusi maka jelaslah pemerintah akan melakukan upaya demi pengurangan prostitusi. Namun, bersumber pada Liputan 6 petang tanggal 30 November 2009 tentang penggerebekan tempat prostitusi dan para pemain yang terjaring merupakan pemain lama maka tampaklah jelas bahwa permainan kejar-kejaran yang telah dilakukan aparat kepolisian dengan para pekerja seks komersial itu merupakan hal yang sia-sia sebab pada akhirnya masyarakat Indonesia tetap dapat menemui prostitusi dimana-mana. Ketika upaya-upaya yang telah dilakukan gagal maka haruslah ada sebuah cara lain (yang mungkin 180 derajat berlawanan) untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi dampak negatif dari seks bebas yang diakibatkan oleh kegiatan prostitusi secara ilegal. Ya, Legalisasi prostitusi adalah jawabannya.

Legalisasi Prostitusi

Dalam pengertiannya Legalitas adalah keabsahan atau pengakuan yang tertulis. Sedang Prostitusi adalah aktivitas seksual yang berorientasi pada materi semata. Maka, ditarik sebuah kesimpulan kecil bahwa, Legalisasi prostitusi adalah proses pengesahan dan pengakuan prostitusi sebagai sebuah pekerjaan yang layak yang akan diatur dalam Undang-Undang. Pelegalan yang dimaksud disini adalah pelegalan secara terkontrol dengan mekanisme yang akan ditentukan oleh pemerintah sehingga tidak akan menjadi sebuah penjamuran kegiatan prostitusi. Tujuan dari adanya legalisasi prostitusi ini adalah pengontrolan dan pengurangan dampak negatif dari prostitusi berkat adanya intervensi pemerintah sebagai pengawas sekaligus pembuat mekanisme. Mekanisme yang saya anjurkan adalah pemerintah yang akan membangun tempat lokasi kegiatan serta pengawasan bagi para pelaku maupun pengguna kegiatan ini.

Biaya yang besar jelas akan menjadi hambatan dari program ini, namun jika melihat biaya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangunan apartemen mewah bagi para anggota dewan maka seharusnya tidak ada alasan dari segi biaya apalagi manfaat yang didapat dari proses pelegalan ini jauh lebih besar dari segi material dan dari segi non-material (terutama jika dibandingkan dengan apartment tersebut yang hanya bermanfaat bagi segelintir orang). Hambatan lain yang akan datang adalah dari kaum mayoritas yang akan selalu tetap meneriakan stop free sex padahal mereka tidak mengerti bahwa tujuan legalisasi ini adalah mengontrol seks bebas yang saat ini telah menjadi hal umum di masyarakat. Kaum mayoritas boleh tetap ber-munafik-ria, namun kenyataan di lapangan jelas mengindikasikan perlunya perubahan sistematik dalam hal pengontrolan seks bebas demi penanggulangan resiko penularan penyakit seksual seperti HIV/AIDS. Dengan mekanisme yang benar, masalah sistemik ini akan dapat ditangani dibandingkan jika semua elemen tetap terus berusaha memungkiri kenyataan yang ada.

Mekanisme Legalisasi Prostitusi

Mekanisme pada problema kompleks seperti ini ibarat tulang punggung yang akan menopang keseluruhan dari upaya-upaya yang ada. Mekanisme yang dianjurkan haruslah sebuah tata cara yang akan dilakukan secara berkesinambungan dalam upaya mengatasi masalah ini dan menguntungkan semua pihak.

Mekanisme yang akan digunakan adalah seperti berikut : Pemerintah akan menyediakan tempat prostitusi yang akan dipilih agar jauh dari keramaian, sekolah serta orang-orang yang tidak berkepentingan di dalamnya dan terlebih dahulu difokuskan pada daerah yang memiliki tingkat seks bebas yang tinggi; Petugas akan secara aktif mengadakan razia di tempat-tempat prostitusi ilegal dan kemudian para PSK akan melewati uji kesehatan untuk mengetahui apakah memiliki penyakit menular seksual atau tidak serta apakah ada yang di bawah umur. Bagi yang dibawah umur akan dibawa ke tempat pembinaan untuk diberikan pengarahan atau pelatihan, sedangkan yang tetap ingin menjalani profesi sebagai PSK akan dipindahkan te tempat prostitusi legal yang dibuat pemerintah; Petugas akan memisahkan prostitusi untuk penderita HIV/AIDS ataupun PSK yang sehat; Orang yang ingin mendapatkan prostitusi haruslah menjadi anggota terlebih dahulu dengan salah satu persyaratan yaitu screening test untuk mengetahui apakah ia mengidap HIV/AIDS atau tidak; Keanggotaannya hanya berlaku 1 bulan sehingga untuk selanjutnya tetap harus melakukan screening test; Pemerintah juga akan mengenakan pajak pada setiap aktivitas prostitusi.

berdasarkan mekanisme yang diajukan diatas, telah jelas bahwa legalisasi prostitusi akan menekan angka penderita HIV/AIDS serta bermanfaat bagi segenap lapisan masyarakat.

Manfaat Legalitas Prostitusi

Sebenarnya sangat banyak manfaat yang ada jika pelegalan prostitusi memang benar-benar dilakukan. Semua sektor secara agregat akan mendapat dampak positif dengan adanya hal ini baik dari kalangan pemeritah, pelaku prostitusi, pihak kepolisian, serta masyarakat termasuk kaum mayoritas yang selalu membutakan matanya dari manfaat ini.

Manfaat legalisasi prostitusi ini bagi pemerintah yang terlihat sangat banyak dirugikan mengingat menyisihkan anggaran yang cukup besar adalah dari segi penerimaan pajak. Jika prostitusi ini dikenakan pajak yang cukup tinggi sekitar 20% maka pemerintah akan mendapat pembagian yang cukup besar serta mengakibatkan meningkatkan harga prostitusi agar tidak dapat dinikmati semua kalangan. Kedepannya, uang hasil pajak ini akan digunakan untuk perluasan lapangan pekerjaan sehingga akan bermanfaat pula bagi peningkatan taraf hidup setiap orang yang menggantungkan harapannya dengan prostitusi. Dan, sebagai timbal balik dari mekanisme yang jelas, pengurungan penderita HIV/AIDS akan meringankan beban tanggung pemerintah.

Bagi pelaku prostitusi hal in telah jelas akan menjadi sebuah titik terang karena mereka akan mendapatkan hak bekerja yang selama ini telah dirampas dan menciptakan rasa tenang serta adanya jamian keamanan yang baik. Para PSK juga akan mendapatkan  pelayanan kesehatan sehingga tidak akan tertular HIV/AIDS dan bagi mereka yang memang telah terjangkit HIV/AIDS juga tidak akan menularkan penyakitnya kepada mereka yang sehat sehingga ini juga bermanfaat bagi pengguna prostitusi sebagai sebuah jaminan kesehatan. Dan  dengan adanya intervensi dari pemerintah maka akan ada aturan tentang kebersihan dari tempat tersebut sehingga menjadi sebuah poin positif bagi kesehatan disana.

Dengan adanya jaminan keamanan serta kejelasan bagi pelaku prostitusi maka tidak perlu ada acara kejar-kejaran sertapermainan petak umpet antar aparat kepolisian dan pelaku prostitusi sehingga kepolisian dapat lebih fokus pada tindakan kriminal yang lebih serius. Selai itu, efektifitas dari penanganan masalah prostitusi akan lebih tinggi.

Sedangkan bagi masyarakat umum manfaat yang didapat adalah sebuah perasaan nyaman. Hal ini dikarenakan pemerintah akan menetapkan regulasi yang jelas serta mempertimbangkan banyak aspek dalam pemilihan lokasi prostitusi. Jadi dengan dibuatnya sebuah tempat prostitusi yang jauh dari lingkungan publik ataupun sekolah maka jelas tidak akan ada remaja yang bisa melakukan kegiatan prostitusi. Sistem yang ada juga dibuat sebagai pengawasan agar tida ada anak sekolah yang menjadi pelaku ataupun penikmat prostitusi sehingga para orang tua tidak perlu lagi mencemaskan anak-anak mereka akan berkeliaran sembarangan dan melakukan tindakan yang tidak diharapkan.

Dengan penjabaran tersebut maka terlihat jelas bahwa ada banyak sekali manfaat dari adanya legalisasi prostitusi yang tertutup oleh stigma negatif yang telah terlanjur berkembang dimasyarakat. Penghapusan stigma negatif ini merupakan tantangan yang cukup berat karena selama ini hal yang berbau seks memang dianggap tabu. Sedangkan kalau kita mau melihat ke sisi keuntungan perekonomian negara maka sangat besar antara lain dijelaskan bahwa ada yang dikatakan sebagai Ekonomi bawah tanah atau underground economy merupakan bagian dari kegiatan ekonomi ynag mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi formal namun melanggar undang-undang dan perarturan yang berlaku (ilegal), dan kegiatan-kegiatan ekonomi formal yang disebabkan oleh berbagai hal tidak tercatat atau tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendpat nasional (Arief, 1993).

2,507 views0 comments

Comments


bottom of page