BODY SHAMING
BODY SHAMING Penulis Siti Isti Dwi Pratiwi Konsep diri sangat diperlukan untuk dapat memahami tentang manusia dan perilakunya. Tidak ada dua orang menusia sekalipun yang mempunyai konsep diri yang sama. Konsep diri muncul dan atau dipelajari berdasarkan pengalaman internal masing-masing individu, hubungan dengan orang lain, dan interaksi dengan dunia luar. Konsep diri sangat penting bagi kesehatan fisik dan mental seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif akan menjadi lebih baik dan mampu mengembangkan dan memelihara hubungan antar sesama individu lainnya. Konsep diri memberi perasaan kontinuitas, lengkap/utuh dan kemantapan pada seseorang. Konsep diri yang sehat merupakan tingkatan tinggi dari kestabilan seseorang dan menyebabkan perasaan positif atau negatif terhadap dirinya di kemudian hari. Konsep diri yang positif, memungkinkan seseorang untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup, dan juga untuk mengatasi kekecewaan dan perubahan hidup. Orang-orang dengan konsep diri yang tidak sehat menyatakan perasaan tidak berharga, perasaan dibenci, dan selalu merasakan kesedihan yang mendalam dan juga mudah putus asa. Salah satu contoh konsep diri adalah Body Ima ge dan salah satu contoh negatifnya adalah Body Shaming Menurut Oxford Living Dictionaries Body Shaming adalah: Noun The action or practice of humiliating someone by making mocking or critical comments about their body shape or size. Adjective Expressing mockery or criticism about a person’s body shape or size. Berdasarkan definisi tersebut, secara sederhana body shaming merupakan bentuk dari tindakan mengejek/menghina dengan mengomentari fisik (bentuk maupun ukuran tubuh) dan penampilan seseorang. Jenis-jenis Body Shaming : Fat shaming Short shaming Skinny shaming Atlethic body shaming Menurut pandangan psikologis, tanda-tanda yang menunjukkan gangguan pada gambaran diri antara lain : Syok Psikologis. Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan. syok psikologis digunakan sebagai reaksi terhadap ansietas. Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan perubahan tubuh membuat klien menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti mengingkari, menolak dan proyeksi untuk mempertahankan keseimbangan diri. Menarik diri. Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan , tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara emosional. Klien menjadi pasif, tergantung , tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam perawatannya. Penerimaan atau pengakuan secara bertahap. Setelah klien sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran diri yang baru. Tanda dan gejala dari gangguan gambaran diri : Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah. Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh. Mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri. Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang. Mengungkapkan keputusasaan. Mengungkapkan ketakutan ditolak. Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh. MABES Polri mengungkap ada 966 kasus body shaming alias ejekan rupa fisik di seluruh Indonesia pada tahun 2018. Dan sudah ada 374 kasus yang diselesaikan. Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, ejekan rupa fisik ini termasuk juga dalam kategori pencemaran nama baik. Bila kasus pengejekan ini melibatkan UU ITE, ia menyebut kepolisian membutuhkan saksi ahli ITE, bahasa, dan pidana. Untuk mencegahnya, polisi telah melakukan pendekatan edukatif, dengan memberikan literasi-literasi digital, baik melalui medsos maupun media mainstream. Penegakan hukum menjadi langkah terakhir dalam kasus ini. Aspek Mediasi harus dikedepankan, dan dalam penanganan kasus ini jika pelakunya anak dibawah umur maka akan diterapkan UU Perlindungan Anak menerapkan hukuman Restorasi Justice. Jika ditelaah, sebenarnya tidak ada kalimat dalam aturan tersebut yang menyebut pidana penghinaan citra tubuh atau body shaming secara eksplisit. Yang ada hanya klausul “penghinaan/pencemaran nama baik” yang bersifat umum dan seringkali dilihat sebagai ‘pasal karet’ karena bisa menimbulkan multitafsir. Pasal ini menjerat banyak korban serta mengekang kebebasan berekspresi. Beberapa dasar hukum yang dianggap dapat menjerat pelaku penghinaan citra tubuh, antara lain : Kitab Undang-undang Hikup Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang No.19 Tahun 2016. Ketentuan ini masuk kepada delik aduan, Agar dapat dihukum, kata-kata penghinaan itu baik lisan maupun tulisan harus dilakukan di tempat umum (yang dihina tidak perlu berada di situ). Apabila penghinaan itu tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum: Dengan lisan atau perbuatan, maka orang yang dihina itu harus ada di situ melihat dan mendengar sendiri; Bila dengan surat (tulisan), maka surat itu harus dialamatkan (disampaikan ) kepada yang dihina. Pengaduan oleh korban penghinaan di media sosial dapat dilakukan melalui Layanan Aduan Konten Kementerian Komunikasi dan Informatika . Laman SAFEnet , jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara menyebut, sampai 31 Oktober 2018 terdapat sekitar 381 korban yang dijerat dengan UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) Di samping itu, secara hukum, seseorang yang merasa dihina dapat melakukan upaya pengaduan kepada aparat penegak hukum setempat. Adapun prosedurnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pemilik akun yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI. Adapun sanksi- sanksi yang dapat menjerat para pelaku Body Shaming : Pasal 27 ayat 3 UU ITE memang menyebut bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Sementara itu, penghinaan terhadap citra tubuh dapat dikategorikan sebagai asal penghinaan ringan yang termaksud dalam Pasal 315 KUHP: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 228), dikatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”. KESIMPULAN Tindakan memperlakukan seseorang dengan membuat komentar mengejek atau mengkritik tentang bentuk atau ukuran tubuh seseorang dapat merugikan kedua belah pihak, baik itu si pelaku maupun si korban. Pelaku terkadang keluarga bahkan orang tua sendiri tanpa disadari suka melakukan body shaming. Korban umumnya adalah perempuan bertubuh besar dan kecil dan bertubuh pendek dan berkulit gelap. Pelaku penghinaan di media sosial dapat dijerat dengan pasal 23 ayat 3 (jo) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kini menjadi UU No.19 Tahun 2016. Ini merupakan delik aduan. Dan ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp.750Juta, ataupun dapat dijerat dengan pasal penghinaan terhadap citra tubuh dapat dikategorikan sebagai asal penghinaan ringan yang termaksud dalam Pasal 315 KUHP dengan ancaman hukuman penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
BODY SHAMING Penulis Siti Isti Dwi Pratiwi Konsep diri sangat diperlukan untuk dapat memahami tentang manusia dan perilakunya. Tidak ada...