Polemik Omnibus Law Terkait RUU Cipta Lapangan Kerja : Ancaman Terhadap Timpangnya Kesejahteraan Bur
Oleh : Annisa Nur Rahma Ramadhani A. Pendahuluan Latar Belakang Omnibus Law merupakan konsep pembuatan legislasi yang menggabungkan beberapa aturan substantif terkait pengaturan yang berbeda dan dikemas menjadi suatu peraturan dalam satu payung hukum. Melalui penyusunan Omnibus Law, pemerintah dan DPR akan menyederhanakan sejumlah aturan yang semula tertumpuk di berbagai kementerian dengan merevisi lebih dari 79 aturan Pembentukan Undang-Undang dan 1244 pasal, salah satunya ialah Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cipta Lapangan Kerja). RUU Cipta Lapangan Kerja menjadi yang pertama kali dibahas sehingga perkembangan hukum yang terjadi saat ini sudah menuntut lebih dalam untuk diperhatikan bersama. Bagaimana tidak, pemerintah yang kemudian mengusulkan RUU Cipta Lapangan Kerja kepada DPR telah sepakat dalam mempercepat pembahasan tersebut untuk mengesahkannya menjadi sebuah produk Undang-Undang. Pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja yang terkesan dikebut dan tidak melibatkan aspirasi masyarakat buruh dikhawatirkan dapat menciptakan “tumpangan” pasal-pasal yang tidak relevan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum masyarakat buruh di tanah air. Akibatnya, kelanjutan penyusunan sejumlah substansi RUU Cipta Lapangan Kerja yang dikebut tadi telah menghasilkan ketidaksinkronan paradigma antara masyarakat buruh dan pemerintah yang belum menemui babak akhir dalam setiap pembahasannya. Yang mana masyarakat buruh berparadigma dengan hadirnya RUU Cipta Lapangan Kerja berpotensi menjadi sebuah ancaman menuju gerbang timpangnya hak fundamental buruh yang dilindungi dalam konstitusi tanah air sementara pemerintah meyakini dalam pembentukan RUU Cipta Lapangan Kerja ini mampu menjadi suatu instrumen pembaharu pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan harapan dapat memberikan dampak positif pada meningkatnya investasi. Sehingga tentu bukanlah menjadi suatu kemustahilan jika Pro-Kontra terkait kehadiran RUU Cipta Lapangan Kerja yang mencuat ini telah berhasil menggiring opini publik yang suprematif. Rumusan Masalah Apa Saja kah Dampak yang akan Mengancam Timpangnya Kesejahteraan Buruh Terkait RUU Cipta Lapangan Kerja? Bagaimanakah Upaya yang Dihadirkan Pemerintah Dalam Menegakkan Kesejahteraan Hak-Hak Buruh Di Tanah Air melalui RUU Cipta Lapangan Kerja? B. Pembahasan Dampak yang Akan Mengancam Timpangnya Kesejahteraan Buruh Terkait RUU Cipta Lapangan Kerja Di sektor ini, kritik terhadap pemerintah yang melakukan regulasi terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja melalui mekanisme pasal terkait yang akan dicanangkan datang dari berbagai lapisan masyarakat, diantaranya: Pertama, RUU Cipta Lapangan Kerja berpotensi melanggar hak warga negara terutama buruh dan keluarganya yang dijamin dalam konstitusi. Sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” . Sebaliknya, substansi yang terdapat di dalam RUU Cipta Lapangan Kerja terkait sejumlah pasal kesejahteraan buruh seperti upah minimum, fleksibilitas hubungan kerja, dan pesangon yang selama ini dijamin oleh UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan dikurangi bahkan kondisi terburuknya ialah dihapuskan. Kedua, revisi sejumlah RUU Cipta Lapangan Kerja ini tidak sesuai dengan sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dalam perjalanan dinamika politik hukum tanah air telah direvisi menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 jelas menguraikan tidak adanya aturan yang mengatur tentang mekanisme Omnibus Law. Bahkan, ada pandangan yang menyebut Omnibus Law tidak lazim diterapkan di Indonesia karena menggunakan sistem hukum civil law . Hal ini dapat dilihat dari absennya upaya pemerintah untuk melibatkan publik, terutama dari kalangan organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh. Sebab, Satgas Omnibus Law yang dibentuk pemerintah dipimpin oleh kalangan pengusaha dan anggota dari pengusaha, perwakilan pemerintah, dan akademisi, maka kebijakan yang diterbitkan tanpa melibatkan partisipasi publik akan melahirkan kebijakan yang diskriminatif. Sehingga penerapan RUU Cipta Lapangan Kerja ini tidak dapat mengakomodir kepentingan buruh dan keluarganya dikarenakan perwakilan mereka yang tidak dilibatkan dalam pembahasan. Ketiga, kebijakan RUU Cipta Lapangan Kerja hanya mengakomodir kepentingan pemodal/pengusaha yang kemudian melemahkan hak-hak buruh. Apata lagi di dalam substansinya pemerintah berencana akan menghapus sanksi pidana (bagi pengusaha) di sektor ketenagakerjaan sehingga hal tersebut kemudian dapat mengancam pemenuhan dan perlindungan hak buruh. Upaya yang Dihadirkan Pemerintah Dalam Menegakkan Kesejahteraan Buruh Di Tanah Air melalui RUU Cipta Lapangan Kerja Pemerintah yang mencanangkan upaya penegakan hukum buruh di tanah air melalui RUU Cipta Lapangan Kerja berangkat dari sebuah metode dalam proses legislasi. Oleh karenanya, proses pembentukan legislasi sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 merupakan sebuah syarat substantif dan syarat teknis tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sementara pada revisi terbarukan yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tidak mengatur terkait prosedur Omnibus Law wajib masuk dalam daftar Prolegnas. Sehingga pijakan hukum dalam menyusun naskah akademik dan draft RUU Omnibus Law mengacu pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang merevisi tentang tata cara penyusunan pembuatan peraturan pada sebuah proses keabsahan suatu produk Undang-Undang. Ada beberapa langkah yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan perluasan lapangan kerja, diantaranaya: Jaminan kehilangan pekerjaan , sesuai dengan RUU Cipta Lapangan Kerja pasal 46A yang menyebutkan : “Pekerja/buruh yang di PHK berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan”. Jaminan pesangon pekerja yang di PHK , adanya jaminan pesangon yang diterima oleh pekerja yang di PHK oleh perusahaan, selama tidak melakukan tindak pidana atau kriminal. Ketentuan libur atau waktu istirahat bagi pekerja, sesuai dengan RUU Cipta Lapangan Kerja pasal 79 yang menyebutkan : “Waktu istirahat antara jam kerja, minimal stengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus. Istirahat ini tidak termasuk jam kerja, namun istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam seminggu”. RUU Cipta Lapangan Kerja ini disiapkan dan dicanangkan pemerintah guna memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan global. Namun alih-alih memperkuat segala kepentingan perekonomian dan investasi sebagaimana sebagaian kecil pasal terkait diatas, disatu sisi malah justru melemahkan masyarakat buruh yang berpotensi menambah masalah baru dalam sistem hukum di tanah air C. Penutup Kesimpulan Kehadiran Omnibus Law (Undang-Undang Sejagat) yang melahirkan RUU Cipta Lapangan Kerja dalam sistem peraturan perundang-perundangan di tanah air merupakan suatu esensi mutlak yang harus dibahas bersama sehingga membutuhkan aspirasi segenap masyarakat dalam putusannya sebagai negara demokrasi. Kelanjutan penyusunan sejumlah substansi RUU Cipta Lapangan Kerja yang dikebut telah menghasilkan ketidaksinkronan paradigma antara masyarakat buruh dan pemerintah yang belum menemui babak akhir dalam setiap pembahasannya. Yang mana masyarakat buruh berparadigma dengan hadirnya RUU Cipta Lapangan Kerja berpotensi menjadi sebuah ancaman menuju gerbang timpangnya hak fundamental buruh secara bertubi-tubi, sementara pemerintah meyakini dalam pembentukan RUU Cipta Lapangan Kerja ini mampu menjadi suatu instrumen pembaharu pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan harapan dapat memberikan dampak positif pada meningkatnya investasi. Namun apabila melihat dari sudut pandang pragmatisme, sudah seyogyanya produk hukum diciptakan untuk mewujudkan kepentingan masyarakat dan kesejahteraan sosial terhadap pemenuhan masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai landasan sosiologis pembentukan suatu perundang-undangan. Saran Dalam menghadapi sejumlah polemik Omnibus Law terkait RUU Cipta Lapangan Kerja tentu dibutuhkan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah. Peran pemerintah sebagai wakil rakyat untuk membentangi dan mengayomi para buruh di tanah air yang sejatinya merupakan pekerja istimewa yang mengabdi pada tanah air pula haruslah dilindungi dan dirawat sebagaimana yang telah diatur di dalam konstitusi. Oleh karenanya, peran DPR sebagai Dewan Perwakilan Rakyat yang mana pemegang kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah kemudian menelisik kembali segala aturan yang akan diberlakukan, sehingga sinergitas antara masyarakat dan pemerintah dalam rangka penegakan Undang-Undang diharapkan dapat ber simbiosis mutualisme dalam mewujudkan masa depan buruh yang cerah. Daftar Pustaka Fitri N Heriani. (2020). Pemerintah Klaim RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja untuk Lindungi Pekerja, Hukumonline.com Hari Widowati. (2019). Poin-Poin Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang Akan Diajukan ke DPR, katadata.co.id Fiki Ariyanti. (2020). Isi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Pekerja Untung atau Rugi?, cermati.com Moh Ainul Yaqin. (2020). 6 Poin Kontroversi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Tagar News Click here to download this file
Oleh : Annisa Nur Rahma Ramadhani A. Pendahuluan Latar Belakang Omnibus Law merupakan konsep pembuatan legislasi yang menggabungkan...