top of page

Kontroversi Kebijakan Penghapusan Peraturan Pendirian Rumah Ibadah

Oleh    :

Muh. Afdal Yanuar (Manager Mootcourt Dept ALSA LC UNHAS)

  1. Pendahuluan

  2. Latar Belakang

Negara adalah sebuah konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia (human creation) tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan dan mencapai tujuan bersama.  Berdasarkan hal tersebut, maka dapat kita ketahui bersama bahwa antara kehendak negara dengan kehendak masarakat adalah hal yang berjalan saling beriringan.  Oleh sebab itu, Negara dengan otoritasnya, demi menciptakan ketertiban dalam kehidupan masyarakatnya, membentuk regulasi peraturan perundang-undangan yang tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, dan kesusilaan untuk ditaati oleh masyarakat. Selanjutnya, setiap regulasi yang dibuat oleh negara harus besesuaian dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Hal ini didasarkan pada pendapat Carl Von savigny yang menyatakan bahwa :

Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird dem volke.

(Hukum tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang dengan masyarakat).

Hal ini kemudian melandasi bahwa “Hukum harus dibuat dengan terlebih dahulu memperhatikan bagaimana kesadaran hukum masyarakat”. Artinya adalah bahwa setiap aturan hukum harus dilandaskan pada bagaimana untuk menguatkan kesadaran masyarakat terhadap hukum itu sendiri, agar supaya hukum yang lahir tidak lain adalah berdasar pada hal-hal yang selaras dengan jiwa masyarakat.

Salah satu hal yang sangat fundamental dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah persoalan agama. Hal tentang agama ini adalah hal yang harus ada dan abadi dalam kehidupan bernegara di Indonesia sebagai konsekwensi bahwa Indonesia adalah Negara Bertuhan. Hal ini sejalan dengan Sila Pertama Pancasila yang menjadi Philosopische Grondslag (Landasan/dasar filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara) yang menyatakan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya adalah bahwa Negara ini lahir dengan berdasarkan pada Rahmat dari Tuhan yang Maha Esa, dan oleh sebab itu maka negara wajib memberikan kemerdekaan kepada rakyatnya untuk dapat beragama dengan tidak lepas dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berbicara tentang agama, maka dalam Konstitusi UUD Negara RI tahun 1945 telah diadakan pengaturan tentang agama yang dimuat dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dan BAB XI tentang Agama. Dalam BAB XA, tepatnya Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI tahun 1945  Jo. Pasal 4 UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa :

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi oleh hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikuangi dalam keadaan apapun”.

Dalam pasal tersebut, telah jelas bahwa Hak beragama adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi pemberlakuannya dalam keadaan apapun (in alien able right) atau dalam hal ini tidak dapat dikekang selama tidak bertentangan dengan hak-hak asasi yang dimiliki oleh orang lain, karena pada prinsipnya adalah “There exists no right to violate a right”. Yang artinya bukan namanya hak jika dimaksudkan untuk melanggar hak orang lain.  Berikutnya, jika kita melihat BAB XI, tepatnya Pasal 29 ayat (2) UUD Negara RI tahun 1945 Jo. Pasal 22 ayat (2) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa :

“Negara menjamin kemerdekaan masing-masing penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui, bahwa ada dua tanggung jawab negara kepada penduduknya dalam konteks permasalahan tentang agama yang harus dijamin, yaitu :

  1. Kemerdekaan untuk memeluk agama;

  2. Kemerdekaan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Berdasarkan segala penjelasan tersebut diatas, dalam kondisi kekinian, kami melihat ada sebuah masalah yang terjadi di Negeri ini dalam konteks tanggung jawab negara untuk menjamin kemerdekaan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing penduduknya. Permasalahan tersebut adalah tentang Pengaturan pembangunan rumah ibadat. Permasalahan ini dipicu akibat adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat. Pada khususnya dalam Peraturan tersebut mengadakan pengaturan tentang syarat-syarat khusus untuk mendirikan rumah ibadah berdasarkan pada jumlah penduduk yang mendukung pembangunan rumah ibadah dengan tidak didasari pada presentase proporsi jumlah penduduk yang memeluk masing-masing agama atau dengan berdasarkan pada kondisi dan keadaan masyarakat dalam setiap daerah. Hal ini, dapat kami anggap sebagai hal yang dapat memicu sebuah konflik antar masyarakat bahkan konflik antar agama, karena tentunya akan terjadi diskriminasi sosial bagi orang-orang yang memeluk agama tertentu yang dalam masyaratakatnya agamanya merupakan minoritas yang dipeluk oleh penduduk, dan hal ini tentunya akan menimbulkan ketidakadilan baginya.

  1. Pembahasan

  2. Aspek Positif

Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat diatur hal-hal tentang syarat pendirian rumah ibadah sebagai suatu bagian yang sangat fundamental dalam peraturan tersebut. Dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa terdapat syarat-syarat khusus dalam pendirian rumah ibadat, yang meliputi hal-hal sbb :

  1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;

  2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

  3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

  4. Rekomendasi tertulis FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kabupaten/Kota.

Hal yang sangat kontroversial kehadirannya dalam syarat-syarat yang ditentukan diatas adalah terkait dengan poin a dan poin b yang menentukan syarat minimum untuk dapat mengadakan pendirian rumah ibadah.

Dalam realita yang terjadi dilapangan terkait dengan permasalahan ini, jelas menunjukan bahwa instrument hukum tentang izin pendirian rumah ibadah menimbulkan banyak permasalahan. Sebagaimana data yang telah dirilis oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies UGM dalam Laporan Tahunan Kehidupan Bernegara. Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 39 kasus tentang konflik antar agama yang 65% dari kasus tersebut ditimbulkan karena pendirian rumah ibadah. Fakta tersebut telah jelas memperkuat argumen bahwa keberadaan peraturan tentang izin pendirian rumah ibadah bukanlah solusi untuk meredam konflik antar agama di Indonesia. Keberadaan agama yang mayoritas dan agama yang minoritas seharusnya menjadi petunjuk dalam pembuatan instrument hukum untuk meredam konflik antar agama dimana dalam suatu daerah terdapat masyarakat dengan agama yang mayoritas sehingga menyulitkan masyarakat dengan agama minoritas dengan syarat yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Agama Bersama Menteri Dalam Negeri No. 8 Dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat. Kami menganggap bahwa semangat awal dari lahirnya peraturan tersebut sebenarnya telah mencerminkan usaha pemerintah dalam meredam konflik antar agama di tengah-tengah masyarakat. Namun, pada beberapa pasal yang terdapat didalamnya sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, jelas menunjukan ketimpangan dari semangat awal lahirnya aturan ini sehingga membuat aturan tersebut tidak dapat berjalan secara afektif.

Berdasarkan pada fakta yang tersebut diatas, maka jika kita perhadapkan dengan teori legitimasi dan validitas hukum yang pada kesimpulannya menyatakan, bahwa Hukum tidaklah valid jika kaidah hukum tersebut : tidak dapat diterima oleh masyarakat; dalam praktik tidak dapat dilaksanakan; tidak dibuat secara benar atau oleh pihak yang benar; ataupun hukum tersebut tidak adil. Selain itu, jika masalah-masalah tersebut kita perhadapkan dengan Teori efektivitas hukum dari Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul Reine Rechtslehere (Edisi pertama terbit dalam tahun 1934), yang kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dengan judul Pure Theory of Law (Teori Hukum Murni) yang pada pokoknya menyatakan bahwa agar suatu kaidah hukum dapat efektif, maka perlu untuk memenuhi syarat utama, yakni : (1) Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan, (2) Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat. Permasalahan diatas itu-pula tidak lepas dari “mata” konstitusi yang dalam Pemahaman tentang Supremasi Konstitusi sebagaimana dijelaskan oleh K.C. Wheare dalam bukunya yang berjudul Modern Constitution, bahwa aspek hukum konstitusi, salah satu diantaranya adalah konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada rnasya­rakat untuk kepentingan mereka.

Berdasarkan hal-hal yang dijelaskan dalam teori validitas, legitimasi, dan efektivitas hukum, serta Pemahaman tentang Supremasi Konstitusi tersebut diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa ketika suatu kaidah hukum baik yang telah diundangkan maupun yang belum diundangkan bertentangan dengan kehendak masyarakat secara universal, maka sesungguhnya kaidah hukum tersebut tidak efektif, dan karena tidak efektif, maka kaidah hukum tersebut menjadi tidak valid. Begitulah halnya yang seharusnya terjadi dalam Peraturan tentang pendirian rumah ibadah tersebut. Jika memang bertentangan dengan jiwa masyarakat, maka sudah sepantasnya peraturan tersebut dicabut. Selain itu, permasalahan terkait Peraturan yang secara positif menghendaki pendirian rumah ibadah harus berdasarkan pada dukungan minimal 60 orang masyarakat setempat, jika kita perhadapkan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD Negara RI tahun 1945 yang secara spesifik memberikan tanggungjawab negara untuk menjamin kemerdekaan penduduknya untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Maka pada nyatanya dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan penduduk untuk dapat beribadat menurut agamanya masih sangat dibatasi oleh negara, oleh karena pendirian rumah ibadat yang menjadi tempat peribadatan masyarakat yang terkesan terlalu dipersulit oleh negara.

Ketika kita mencoba untuk mengkomparasikan ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006, dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 32 tahun 2010, maka dapat kita temukan, bahwa dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006, yang mana dalam mendirikan rumah ibadah, memerlukan syarat umum yang meliputi syarat administrasi dan syarat teknis  sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan persyaratan khusus sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2). sedangkan dalam Permendagri No 32 tahun 2010 sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 Jo. Pasal 7 ayat (3), bahwa dalam hal mendirikan bangunan keagamaan atau rumah ibadah, cukup dengan syarat umum dengan adanya izin dari pemerintah daerah yang berbentuk IMB yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

Adapun tentang syarat administratif dan syarat teknis yang tersebut diatas, diatur dalam UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.  Syarat Administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2), sedangkan Syarat Teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (3).

Berdasarkan penjelasan diatas, maka tibalah kami pada sebuah kesimpulan bahwa ketentuan dalam pasal 14 ayat (2) dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006 sebagai ketentuan yang paling fundamental terkait pendirian rumah ibadah pada peraturan tersebut. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya segala ketentuan tentang pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 tahun 2006 tersebut harus dihapus, dan segala hal yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadah dikembalikan pada Ketentuan Pendirian Bangunan Keagamaan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 32 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan. Hal ini tidaklah menimbulkan kekosongan hukum, karena dalam Peraturan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang sifatnya umum terkait pendirian bangunan, termasuk pendirian bangunan keagamaan (rumah ibadah).

  1. Aspek Negatif

Dengan tidak lepas pada ketentuan-ketentuan teoritis dan fakta-fakta yang telah dijelaskan pada aspek positif dalam Artikel ini, maka pada bagian ini kami hanya akan menjelaskan segala hal-hal yang menjadi kelemahan dari Permasalahan tentang penghapusan peraturan pendirian rumah ibadah.  Kita dapat melihat, bahwa awal munculnya permasalahan ini, ialah dengan adanya ketentuan dalam Pasal 14 ayat (2) dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006 yang menyatakan bahwa salah satu syarat khusus untuk dapat mendirikan rumah ibadah di suatu daerah ialah dengan harus adanya dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Hal inilah yang merupakan hal yang sangat fundamental dalam permasalahan ini. Selanjutnya yang menjadi persoalan ialah apakah hanya karena satu ketentuan saja dalam suatu peraturan yang tidak valid, lantas peraturan tersebut harus dihapus atau dicabut dengan alasan karena peraturan tersebut menjadi tidak valid. “Tentunya tidak ”. Karena jika segala ketentuan khusus terkait pendirian rumah ibadah ditiadakan, maka tentunya akan terjadi kekosongan hukum untuk itu. Padahal menurut Cicero bahwa “Ubi societas ibi ius” yang berarti bahwa dimana ada masyarakat, maka disitu ada hukum. Dan kemudian sebagai suatu negara hukum yang menjadikan hukum sebagai panglima dalam kehidupan, maka tentunya haram hukumnya apabila suatu negara hukum mengalami kekosongan hukum.

Oleh sebab itu, jika memang nyatanya bahwa ketentuan khusus tentang pendirian rumah ibadah yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006 tidak memiliki validitas karena tidak dapat berlaku efektif di masyarakat oleh karena masyarakat tidak mampu menerima ketentuan tersebut dalam kehidupannya, maka bukanlah penghapusan ketentuan khusus terkait pendirian rumah ibadah jalan terbaiknya, melainkan mengadakan revisi atau perubahan terhadap ketentuan pendirian rumah ibadah dengan menghapus ketentuan Pasal yang dianggap tidak valid saja, yakni syarat khusus pendirian sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2), yang selanjutnya harus diubah menjadi bahwa syarat khusus dalam mendirikan rumah ibadah di daerah adalah harus ada rekomendasi FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) setelah menampung aspirasi organisasi masyarakat keagamaan dan/atau masyarakat dan rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk mendirikan rumah ibadah, dan selanjutnya harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Daerah atau dalam hal ini Dinas Tata Ruang Kabupaten/Kota sebagai instansi yang lebih memahami kesatuan wilayah di daerah, yang menjadi tempat masyarakat melakukan kegiatan-kegiatannya.

  1. Penutup 3.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan atas permasalahan dalam artikel ilmiah ini, ialah :

  2. Terkait dengan masalah tentang Penghapusan Peraturan Pendirian rumah ibadah, maka ada dua opsi yang kami tawarkan, yakni :

  3. Ketentuan dalam pasal 14 ayat (2) dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006 sebagai ketentuan yang paling fundamental terkait pendirian rumah ibadah pada peraturan tersebut. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya segala ketentuan tentang pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 tahun 2006 tersebut harus dihapus, dan segala hal yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadah dikembalikan pada Ketentuan Pendirian Bangunan Keagamaan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 32 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan; Atau

  4. Jika ketentuan khusus tentang pendirian rumah ibadah yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006 tidak memiliki validitas karena tidak dapat berlaku efektif di masyarakat oleh karena masyarakat tidak mampu menerima ketentuan tersebut dalam kehidupannya, maka bukanlah penghapusan ketentuan khusus terkait pendirian rumah ibadah jalan terbaiknya, melainkan mengadakan revisi atau perubahan terhadap ketentuan pendirian rumah ibadah dengan menghapus ketentuan Pasal yang dianggap tidak valid saja, yakni syarat khusus pendirian sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2), yang selanjutnya harus diubah menjadi bahwa syarat khusus dalam mendirikan rumah ibadah di daerah adalah harus ada rekomendasi FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) setelah menampung aspirasi organisasi masyarakat keagamaan dan/atau masyarakat dan rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk mendirikan rumah ibadah, dan selanjutnya harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Daerah atau dalam hal ini Dinas Tata Ruang Kabupaten/Kota sebagai instansi yang lebih memahami kesatuan wilayah di daerah, yang menjadi tempat masyarakat melakukan kegiatan-kegiatannya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Referensi dari buku bacaan :

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pres, 2014.

  1. Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2013.

K.C. Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, terjemahan Muhammad Hardani, Surabaya: Pustaka Eureka, Cet. 2, Juli 2005

Munir Fuady, Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013

Referensi dari Peraturan perundang-undangan :

UUD Negara RI tahun 1945

UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Peraturan Menteri Agama dan Dalam Negeri No 8 dan No 9 tahun 2006

Referensi dari Web :

64 views0 comments
bottom of page