oleh : Moh. Rifli Mubarak
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Tanah gambut merupakan timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati baik yang telah mengalami proses pelapukan maupun yang belum mengalami proses pelapukan. Jika ditinjau berdasarkan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang telah terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 cm dan terakumulasi pada rawa. Pembentukan tanah gambut sendiri merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986:86-94).1
Menurut Suryadiputra et al. (2005), ekosistem lahan gambut tropis di seluruh dunia meliputi areal seluas 40 juta hektar dan 50% (20 juta hektar) diantaranya terdapat di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Papua dan sedikit Sulawesi). Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia menjadi negara keempat dengan luas lahan rawa gambut terluas di dunia setelah Kanada (170 juta hektar), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha).
Dengan adanya pemaparan data di atas, menunjukkan bahwa gambut merupakan salah satu tanah yang mendominasi wilayah Indonesia dan tentunya sangat penting bagi seluruh elemen masyarakat dalam memberikan konsentrasi dan fokus terkait pengelolaan lahan gambut yang juga memiliki fungsi yang sangat beragam. Fungsi dari lahan gambut secara ringkas antara lain: (1) sebagai pengatur hidrologi karena memiliki kemampuan sebagai penambat air tawar sehingga dapat menahan banjir pada musim hujan dan dapat melepaskan air tersebut saat musim kemarau sehingga dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke darat, (2) sebagai sarana konservasi keanekaragaman hayati yang tentunya menjadi habitat unik bagi para flora dan fauna yang sangat bervariasi sehingga jika ekosistem gambut ini mengalami kerusakan, tentunya akan sangat berdampak pada keanekaragaman tersebut. Bahkan, ekosistem gambut di Sumatera saja telah memiliki lebih dari 300 jenis tumbuhan yang hanya dijumpai di hutan rawa gambut (Giesen W, 1991). Namun ironis, kasus kebakaran hutan dan lahan gambut yang menjadi isu terkini merupakan hal yang sangat memprihatinkan dalam dimensi keberlangsungan ekosistem gambut kita sehingga dibentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG) namun dengan periode kerja selama lima tahun, pastinya akan menyisakan keraguan jika tidak ada aksi keberlanjutan setelah periode waktu BRG telah berlalu. Lihat saja, pada tahun 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut yang mengakibatkan 19 orang meninggal, 500.000 orang menderita infeksi saluran pernafasan, dan lebih dari 4 juta siswa tidak dapat bersekolah selama satu bulan dengan kerugian ekonomi mencapai Rp221 triliun. Kebakaran lahan gambut juga dapat melepaskan 1,62 miliar metrik ton gas rumah kaca (GRK) ke udara atau setara dengan produksi emisi dari 350.000 kendaraan dalam satu tahun. Komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement tahun 2015 dalam mengatasi perubahan iklim melalui NDC (National Determind Contribution) tentunya harus direvitalisasi dan digerakkan kembali khususnya pada fokus dari pemerintah Indonesia dan berbagai stakeholders dalam memperhitungkan eksistensi ekosistem lahan gambut sebagai penyerap karbondioksida. Hal-hal ini juga dapat dikorelasikan dengan penegakan hukum positif di Indonesia dengan kebijakan terkait sehingga segala aspek yang ada dapat ditilik sesuai dengan aturan dan pedoman yang berlaku. Pada tulisan ini, penulis akan membahas secara spesifik terkait eksistensi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada terkait perlindungan dan pengelolaan lahan gambut dengan fokus perhatian pada konservasi flora dan fauna dalam ekosistem gambut, upaya pemberdayaan hukum di masyarakat, hingga akomodasi kearifan lokal dalam pengelolaan lahan gambut. Selain itu, legal review ini juga akan mengandung aspek harmonisasi peraturan perundang-undangan sebagai bentuk konsolidasi esensi atas interpretasi mengenai substansi yang ada di dalam beragam peraturan tersebut dan diharapkan menjadi sebuah kumpulan dasar hukum yang menghasilkan implementasi yang kontributif, efektif, dan efisien dalam hal pengelolaan lahan gambut secara komprehensif. 2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perspektif hukum terkait konservasi flora dan fauna pada ekosistem lahan gambut di Indonesia? 2. Bagaimanakah kontribusi dari kearifan lokal jika ditilik melalui perspektif hukum positif yang berlaku dalam melakukan pengelolaan lahan gambut? 3. Bagaimanakah model pemberdayaan hukum pada masyarakat terkait pengelolaan lahan gambut sebagai bentuk edukasi hukum?
PEMBAHASAN 1. Bagaimanakah perspektif hukum terkait konservasi flora dan fauna pada ekosistem lahan gambut di Indonesia? Menurut PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP No. 71 Tahun 2014 dinyatakan bahwa gambut mempunyai ciri khas yang unik selain sebagai komponen lahan basah tetapi juga menjadi komponen penting dalam lingkungan hidup terhadap keberagaman komponen biotik dan abiotik antara lain sebagai sumber daya alam berupa plasma nutfah dan komoditi kayu, sebagai tempat hidup ikan, dan sebagai gedung penyimpanan karbon yang berparan dalam menjadi penyeimbang iklim. Urgensi terkait perlindungan kenekaragaman hayati dalam lahan gambut tentunya menjadi perhatian Indonesia seperti yang telah Indonesia lakukan dalam meratifikasi Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (UNCBD) melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 yang pada intinya, dalam konvensi ini menegaskan pentingnya peran ekosistem lahan gambut seperti yang direkomendasikan dalam Resolution VII/15 yang dihasilkan dari Conferences of The Parties (COP) ke-7 UNCBD. Selain itu, telah terafirmasi bahwa sesuai Strategic Goals Aichi Target yang diadopsi dari COP UNCBD ke-10 menegaskan bahwa perlindungan ekosistem lahan gambut adalah hal yang sangat vital dalam melestarikan flora dan fauna yang ada di dalamnya. Beberapa peraturan nasional terkait perlindungan ekosistem diatur melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memiliki beberapa peraturan pelaksanaannya diantaranya PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Ada pula peraturan nasional yang khusus membahas flora dan fauna yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Namun, dari berbagai macam dasar hukum tersebut, rangkaian substansi dalam UU dan PP yang ada tidak secara spesifik mengatur mengenai flora dan fauna pada lahan gambut. Tetapi, hanya memberikan rambu-rambu secara prinsip dalam Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 berupa larangan seperti: (1) mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; (2) mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Tetapi, ada pula interpretasi substansi secara eksplisit yang terdapat pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penataan Ekosistem Gambut khususnya pada Pasal 8 ditegaskan bahwa pada saat proses pengukuran di titik penataan harus tetap memperhatikan keberadaan dari flora dan fauna yang dilindungi. Dalam arti, peraturan menteri ini merupakan bentuk manifestasi atas pentingnya perlindungan flora dan fauna di dalam ekosistem gambut. Ada pula eksistensi dari peraturan daerah seperti Peraturan Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 8 Tahun 2013 tetntang Lahan Gambut. Pada peraturan tersebut, dijelaskan bahwa lahan gambut memiliki kondisi alamiah dengan tingkat keasaman yang rendah dan miskin unsur hara, sehingga menjadi habitat yang unik terhadap keanekaragaman hayati yang hidup di ekosistem tersebut. Esensi dari peraturan daerah tersebut menunjukkan akan pengakuan keanekaragaman hayati di dalam ekosistem gambut yang diharapkan, menjadi perhatian bagi seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk bisa berkonsentrasi pada upaya konservasi dan perlindungan flora dan fauna di dalamnya. Terlebih lagi, dalam ekosistem gambut menyimpan keanekaragaman dengan beragam spesies langka. Menurut Mudiyarsoet al. (2004) dalam penelitian pendugaan cadangan karbon, terdapat lebih dari 50 spesies pohon di hutan gambut. Lalu, menurut Iqbal dan Setijono (2011) di Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang terdapat 178 jenis pohon yang dilindungi diantaranya Pulai Tawa (Alstonia pneumatophore), Jelutung Rawa (Dyera costulata), dan Mengris (Kompassia malacensis). Lalu untuk keanekaragaman fauna, menurut Suryadiputraet al. (2005) terdapat beberapa jenis fauna di lahan gambut sekitar Sungai Puning, Kabupaten Barito Selatan, diantaranya yang termasuk mamalia, avifauna, dan herpetofauna. Jenis mamalia diantaranya adalah Malu-Malu Kukang (Nycticebus coucang), Lutung, Cekong (Presbytis cristatus), Beruk (Macaca namestrina yang dilindungi UU dan termasuk appendix II CITES), serta Ungko (Hylobates agliss), dan Kelawat (Hylobates mulleri yang dilindungi UU termasuk appendix I CITES atau memenuhi kriteria IUCN terancam punah dengan status endangered). 2. Bagaimanakah kontribusi dari kearifan lokal jika ditilik melalui perspektif hukum positif yang berlaku dalam melakukan pengelolaan lahan gambut? Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengartikan kearifan lokal sebagai “Nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.” Dalam hal ini bahwa eksistensi kearifan lokal sangat berpengaruh pada kondisi masyarakat sekitar lahan gambut dalam proses pengelolaan yang mereka yakini dengan cara masing-masing. Seperti halnya jika UUPPLH memperbolehkan praktik dari kearifan lokal untuk melakukan pembakaran lahan. Pada Pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH menyatakan bahwa, “Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Dalam UUPPLH sendiri, pembakaran lahan dianggap sebagai bentuk tindak pidana lingkungan. Bagi mereka yang melakukan pembakaran lahan dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun, dengan denda paling sedikit Rp. 3 Milyar dan paling banyak Rp. 10 Milyar. Tetapi, pada Pasal 69 ayat 2 memberikan penjelasan terkait pembakaran lahan yang dimaksud bahwa aktivitas ini dapat dilakukan dengan tetap melakukan adaptasi pada kearifan lokal yang berlaku. Dijelaskan pada UUPPLH bahwa kearifan lokal dalam pembakaran lahan dapat dilakukan maksimal dua hektare per kepala keluarga namun hanya dapat ditanami oleh jenis varietas lokal. Tidak lupa pula bahwa ada syarat khusus juga yaitu dengan membangun sekat bakar setelah melakukan pembakaran dan penanaman varietas lokal agar menjadi upaya preventif terkait penjalaran api ke areal sekitarnya Sehingga dapat disimpulkan bahwa syarat kumulatif dari pembakaran lahan yang dimaksud berdasarkan kearifan lokal yaitu adanya batasan berupa luas areal yaitu dua hektare per kepala keluarga, lalu batasan tanaman yang ditanami yaitu merupakan jenis varietas lokal dan juga diharapkan menjadi bentuk perpanjangan ekspektasi dalam melestarikan pangan lokal, dan terakhir yaitu adanya teknologi pengaman berupa sekat bakar. UUPPLH terkait perintah dalam hal kearifan lokal juga telah dijalankan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permenlhk) Nomor P.34/MenLHK/Setjen/Kum.1/5/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Selain itu, Peraturan Menteri ini juga hadir untuk bisa merealisasikan Protokol Nagoya yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013. Namun, jika ditilik lebih jauh, upaya pembakaran lahan berdasarkan kearifan lokal yang berlaku tidak dapat berlaku lagi jika melihat kondisi kebakaran hutan dan lahan saat ini yang sangat masif terjadi di berbagai provinsi di Indonesia khususnya di pulau Kalimantan. Teknologi hasil kearifan lokal yang dimaksud seperti sekat bakar sudah tidak dapat diaktualisasikan lagi sehingga perlunya upaya adaptasi dalam menghadapi problematika lingkungan ini. Alhasil, Badan Restorasi Gambut terus melakukan penelitian dan pada akhirnya menemukan solusi terkait dengan menghasilkan Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) sebagai bentuk kearifan lokal baru yang lebih adaptif dan ramah lingkungan. Semua proses yang ada berasal dari didirikannya Sekolah Lapang yang melatih ratusan petani dan mencetak 30 kader pelatih serta demplot-demplot PLTB yang telah terdistribusi di ratusan desa. PLTB yang dimaksud merupakan serangkaian upaya dengan cara amenciptakan budaya pertanian baru dengan teknologi tanpa bakar, sikap bebas limbah (zero waste), dan hadirnya harmonisasi dengan kondisi alam. Baik dapat diaktualisasikan dengan penggunakan pupuk non kimia dalam proses penanaman dan tidak melakukan aktivitas membakar lahan. 3. Bagaimanakah model pemberdayaan hukum pada masyarakat terkait pengelolaan lahan gambut sebagai bentuk edukasi hukum? Kita perlu merefleksikan kembali bahwa hadirnya hukum diharapkan dapat menciptakan keadilan yang merata bagi seluruh individu. Terkait dengan problematika kebakaran hutan dan lahan gambut, program pemberdayaan hukum menjadi salah satu kunci jawaban sebagai bentuk edukasi hukum yang holistik khususnya kepada masyarakat sekitar lahan gambut yang memiliki peranan yang signifikan dalam melakukan pengelolaan dan pelaporan jika terjadi kasus kebakaran dan isu hukum lainnya. Misalnya, substansi mendasar terkait Hukum Lingkungan dam Hukum Pidana Umum harus bisa menjadi kapasitas fundamental bagi para petani gambut khususnya para tokoh-tokoh yang berkiprah di Desa Peduli Gambut. Hal ini sudah sangat sejalan dengan kenyataannya bahwa BRG juga telah memfasilitasi dibentuknya paralegal masyarakat di desa-desa gambut yang telah mencapai 470 paralegal yang tergabung dalam Perhimpunan Paralegal Masyarakat Gambut Indonesia (PPMGI). Program pemberdayan hukum ini juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Pemberdayaan hukum dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk program berupa penyuluhan dan konsultasi hukum, penelitian hukum, mediasi, hingga investigasi perkara. Selain itu, hal yang terpenting adalah bagaimana pemberdayaan hukum ini bisa menjadi bentuk pertolongan dalam mendampingi masyarakat di luar pengadilan dan membantu proses perancangan dokumen hukum terkait hal-hal yang berkorelasi dengan pengelolaan lahan gambut.
PENUTUP
1. Kesimpulan Dalam rangka memberikan konsentrasi lebih pada eksistensi lahan gambut, diperlukan upaya penegakan hukum yang terharmonisasi dengan baik dan terafirmasi secara jelas terkait pengelolaan dan perlindungan dari lahan gambut itu sendiri. Dalam arti, bahwa setiap proses pengelolaan dan perlindungan ekosistem lahan gambut harus memiliki pedoman yang signifikan dan teratur sehingga dapat menciptakan proses implementasi yang terarah dan bertanggung jawab. Dalam dimensi dan fokus tulisan ini, keanekaragaman hayati dalam ekosistem lahan gambut yaitu flora dan fauna sangat penting untuk dilindungi seperti yang tercantum pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penataan Ekosistem Gambut, dalam proses pengukuran muka air tanah di ekosistem gambut harus tetap memperhatikan habitat dari flora dan fauna yang hadir di ekosistem tersebut. Begitu pula juga pada Peraturan Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Lahan Gambut yang begitu mengakui keberagaman hayati di dalam sebuah ekosistem gambut sebagai bentuk manifestasi dari perhatian pemerintah daerah dalam mengelola lahan gambut secara bertanggung jawab. Lalu, dengan kehadiran kontroversi terkait pembakaran lahan yang telah dijelaskan. Namun ternyata, UUPPLH memberikan limitasi terkait pembakaran lahan yang berdasarkan kearifan lokal yang berlaku dengan memenuhi syarat kumulatif dari pembakaran lahan yang dimaksud berdasarkan kearifan lokal yaitu adanya batasan berupa luas areal yaitu dua hektare per kepala keluarga, lalu batasan tanaman yang ditanami yaitu merupakan jenis varietas lokal dan juga diharapkan menjadi bentuk perpanjangan ekspektasi dalam melestarikan pangan lokal, dan terakhir yaitu adanya teknologi pengaman berupa sekat bakar. Namun, solusi dari hal tersebut terjawab dengan hadirnya Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) sebagai bentuk eksplorasi dari Badan Restorasi Gambut. Tidak kalah penting pula bahwa pemberdayaan hukum kepada masyarakat juga menjadi sangat vital karena hal ini menjadi bentuk edukasi hukum kepada masyarat di desa gambut agar dapat menjadi bentuk pertolongan dalam mendampingi masyarakat dalam mengurusi hal-hal terkait perancangan dokumen hukum yang berkorelasi dengan pengelolaan lahan gambut maupun pelaporan isu hukum yang terjadi pada daerah sekitar gambut.
2. Saran Diharapkan bahwa dalam adanya pedoman yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan, tidak hanya menjadi formalitas semata tetapi dapat diaktualisasikan oleh tokoh-tokoh terkait yang merupakan hasil kolaborasi dari masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan stakeholders lainnya untuk bisa melahirkan terciptanya aktualisasi dari beragam peraturan yang ada. Selain itu, diperlukan kajian akademik yang berkelanjutan sehingga dapat menjadi masukan konstruktif dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang terus mengalami perubahan dan mengakomodasi perkembangan zaman sesuai dengan kebutuhan yang hadir dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, M.A. 1997. Organic Matter Dynamics of Coastal Peat Deposits in Sumatra. Ph.D. Thesis. University of British Columbia. Vancouver.Canada. Commision on Legal Empowerment of the Poor, 2008. Making the Law Work for Everyone Volume I, New York: UNDP; Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94. Page, S et al. 2010. Science Highlights: Pasta and Present Carbon Accumulation and Loss in Southeast Asian Peatlands. Vol 18 No. 1April 2010. Department of Geography. University of Leicester. UK. Hal. 25. PerMenLHK (Peraturan MenteriLingkungan Hidup dan Kehutanan) Nomor P.15/MENLHK/ SEKJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut
Pramudianto A.2016. Ketentuan Etika dalam Perjanjian Internasional di Bidang Perlindungan Fauna
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
コメント