BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkosaan atau pencabulan biasanya terjadi pada suatu saat dimana pelaku lebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada korban (dalam hal ini adalah anak), jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut dari suatu penganiayaan, apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan pada anak akan merupakan suatu resiko terbesar karena sering berdampak pada emosi tidak stabil.
Pribadi yang abnormal itu pada umumnya jauh dari pada status integrasi, baik secara internal dalam batin sendiri, maupun secara eksternal dengan lingkungan sosialnya. Pada umumnya mereka itu terpisah hidupnya dari masyarakat/menyimpang, sering didera oleh konflik batin dan tidak jarang dihinggapi gangguan mental.
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komisi Perlindungan Nasional Anak 2010-2014 mencatat ada 21.689.797 kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 34 provinsi dan di 179 kabupaten/kota (Pusdatin, 2016). 58% dari pelanggaran hak anak tersebut merupakan kejahatan seksual. Sisanya 42% adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, serta kasus-kasus perebutan anak.
Sementara data lain, dari Komisi Nasional Perempuan 2015, kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal dari jumlah kasus sebesar 321.753, kekerasan seksual menempati peringkat kedua, yaitu dalam bentuk perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% (166 kasus). Pada ranah publik, dari data sebanyak 31% (5.002 kasus), jenis kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%). Pelaku kekerasan seksual adalah lintas usia, termasuk anak-anak jadi pelaku (Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2015).
Jika disimpulkan dari data resmi berbagai lembaga terkait perlindungan dan hak-hak anak itu maka masifnya kejahatan terhadap anak sangatlah ironis. Tak pelak lagi berbagai media (termasuk media sosial) dan masyarakat terus menyorot dan mengkritisi masifnya jenis kejahatan ini, yang akhirnya membuat pemerintah menyatakan “Indonesia darurat kejahatan seksual anak”.
Sebagai antisipasi atas kedaruratan kejahatan seksual anak tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini menambah sanksi bagi pelaku kekerasan seksual anak, yaitu tindakan kebiri kimia dan pemasangan chip sebagai alat deteksi elektronik. Tindakan tersebut akan dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Hukuman tindakan dan pidana tambahan ini dikecualikan untuk pelaku anak
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pendahuluan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam legal review ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan hukuman kebiri menurut Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? 2. Bagaimana fenomena dan reaktualisasi hukum terhadap pengaturan hukuman kebiri menurut Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
BAB II PEMBAHASAN A. Pengaturan Hukuman Kebiri menurut Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kebiri (disebut juga pengebirian atau kastrasi) adalah tindakan bedah dan/atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Lebih lanjut lagi, merujuk pada pendapat dari Mantan Ketua Mahkamah Agung, yaitu Bapak Wirjono Prodjodikoro, bahwa hukum pidana berfungsi untuk “mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat”. Dengan melihat dari pendapat beliau dan arti kata “Kebiri” maka dapat disimpulkan bahwa hukum kebiri tidak memberikan opsi bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak untuk menjadi lebih baik namun lebih memperlihatkan bahwa “kejahatan seksual” adalah suatu kutukan dimana pelaku tersebut harus diasingkan dari kehidupan manusia normal pada umumnya dan pelaku tersebut sudah tidak diberikan kesempatan lagi untuk bisa hidup layaknya orang normal.
Sementara itu kebiri kimiawi, berbeda dengan kebiri fisik, tidak dilakukan dengan mengamputasi testis. kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memasukkan bahan kimiawi antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan ke tubuh seseorang dengan tujuan untuk memperlemah hormon testosteron. Secara sederhana, zat kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh itu akan mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan ereksi, libido atau hasrat seksual. Hukuman kebiri kimia berupa suntik antiandrogen, Jika pemberian antiandrogen dihentikan, dorongan seksual dan fungsi ereksi seseorang akan muncul lagi.
Dasar hukum dapat dilakukannya hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia dapat kita lihat pada Perppu No.1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tepatnya pada pasal 81 ayat (7), Menurut pasal 81 ayat (7) Perppu No.1 tahun 2016 menyatakan: terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan tersebut diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok, pelaksanaan tindakan kebiri kimia dibawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum, sosial, dan kesehatan yang disertai dengan rehabilitasi.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 81 ayat (7) Perppu No.1 tahun 2016 didalam nya terdapat ketentuan pelaku pedofila yang dapat dikenai tindakan kebiri kimia ada dua jenis yakni yang terdapat di dalam pasal 81 ayat (4) dan (5) : 1. Pelaku yang telah dipidana dengan tindak pidana yang sama (residive). Sebagaimana bunyi dari pasal 81 ayat (4) Perppu No.1 tahun 2016 yakni:“Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D” 2. Pelaku yang dikenai hukuman mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.Sebagaimana bunyi dari pasal 81 ayat (5) Perppu No.1 tahun 2016 yakni: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
B. Fenomena dan Reaktualisasi Hukum terhadap Pengaturan Hukuman Kebiri menurut Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kejahatan seksual bukan didasarkan pada semata-mata dorongan fisiologis ataupun fisik seseorang untuk melakukan kejahatan seksual. Pada kenyataannya di Indonesia sering ditemui kejahatan seksual maupun pemerkosaan yang dilakukan tidak hanya untuk mencapai tujuan ejakulasi namun untuk mencapai tujuan psikologisnya, sehingga pada intinya yang sakit adalah mental dan jiwa pelaku. Berdasarkan hal tersebut, menurut Pakar Seksiologi dr. Boyke, kondisi mental seseorang jika tidak diobati tidak akan menghentikan niat mereka untuk melakukan kejahatan seksual, sehingga apabila dilakukan kebiri justru akan membuat mereka menjadi semakin tertekan kondisi mentalnya dan lebih berbahaya bagi masyarakat, artinya hukuman kebiri tidak dapat mengurangi atau menanggulangi kejahatan seksual dan bahkan dapat memberikan dampak yang lebih berbahaya bagi masyarakat maupun anak-anak dilingkungan sekitarnya.
Kejahatan seksual terhadap anak merupakan salah satu kejahatan yang paling mengerikan yang dapat dilakukan seseorang terhadap orang lainnya. Esensi dari adanya hukuman kebiri terdengar sebagai sebuah “solusi” yang terkesan merupakan suatu hal yang “pantas” dibebankan pada pelakunya. Namun, yang menarik adalah bahwasanya hukuman tersebut lebih merujuk pada sebuah hukuman yang retributif atau disebut “vendetta” atau lebih sering lagi disebut balas dendam. Memang, salah satu tujuan adanya hukum pidana adalah untuk menjalankan fungsi retributif. Namun, perlu ditegaskan bahwa di negara negara maju, langkah retributif merupakan sebuah langkah yang terbilang “kuno”, untuk itu negara negara yang bisa dibilang maju, lebih mengadopsi hukuman yang merestorasi, daripada meretribusi.
Hukuman kebiri bertentangan dengan hak konstitusional dari tersangkanya, yaitu pasal 28B UUD 1945, “setiap orang mempunyai hak untuk meneruskan keturunannya sesuai dengan perkawinan yang sah”. Maka dari itu, perlunya menerapkan hukuman maksimal seperti yang tertera pada UU No. 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan Anak, yaitu 15 tahun penjara sehingga para tersangka terjamin akan haknya.
Adapun dalam landasan filosofis pancasila dalam sila kelima, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa indonesia adalah bangsa yang beradab, sehingga bangsa indonesia bukanlah bangsa yang memberikan hukuman hanya untuk membuat jera, melainkan pelaku direhabilitasi agar kepribadiannya diperbaiki. Meninjau dari sejarah-sejarah negara yang menerapkan hukuman kebiri, seperti Amerika Serikat, Estonia, Korea Selatan, dan Rusia negara-negara tersebut telah menerapkan sanksi kastrasi atau kebiri untuk pelaku pedofilia. Hal tersebut tidak berarti bahwa bentuk hukuman kebiri merupakan hukuman yang paling tepat dan efektif untuk menekan laju dan mengurangi kejahatan pedofilia. Kecaman dari Amnesty Internasional merupakan bentuk kritik terhadap hukuman kastrasi yang justru menciptakan masalah baru. Amnesty Internasional menyebutkan, bahwa setiap tindak kejahatan harus dihukum dengan cara yang sesuai dengan Deklarasi HAM universal.
Pemberlakuan Perppu No.1 Tahun 2016, diantara pasal di dalamnya memuat keharusan dokter sebagai pihak yang akan mengeksekusi. Akibat pasal itu, secara yuridis, dokter harus melaksanakannya tanpa reserve, karena hal tersebut adalah hukum negara. Namun kenyataannya bunyi “hukum” tersebut ditolak oleh kalangan dokter. Kalangan dokter beralasan jika mereka mengeksekusi kebiri tersebut maka akan bertentangan dengan nilai dasar etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia/Kodeki). Walaupun tiap negara berbeda-beda kode etik kedokterannya, namun khusus para dokter Indonesia paling tidak mengurai dalam empat alasan (asas) utama.
Asas manfaat, sebagai pelaksanaan dari ibadah dan menolong memberikan yang terbaik. Dalam kode etik kedokteran Indonesia dirumuskan dalam dua pasal, yaitu pasal kepentingan pasien menjadi ukuran utama dan dokter bekerja dengan ukuran yang tertinggi di samping pada sumpah kedokteran. Berdasar asas manfaat tersebut, melakukan kebiri tentu tak ada manfaatnya sama sekali. Dengan demikian, apabila kebiri dilakukan oleh seorang dokter, akan melanggar kode etik. Dari aspek medis teknis pelaksanaan tidaklah sederhana, perlu melibatkan dokter ahli bedah, ahli anestesi, ahli kedokteran jiwa. Bahwa dalam sejarah sudah ada pengebirian pada manusia, tidak berarti itu benar jika dilakukan.
Asas jangan mencederai atau jangan merugikan. Inilah prinsip sebagai penegasan dari asas manfaat. Asas ini berlaku dari segala aspek kehidupan, jangan mencederai dari segi spiritual (hak beribadah), jangan mencederai dari aspek psikologi, yaitu kewajiban menyimpan rahasia kedokteran, aspek finansial jangan sampai pasien mengeluarkan biaya yang bukan diperlukan. Berdasarkan asas ini, kebiri akan mencederai pasien dan sangat merugikan karena kehilangan hak berketurunan. Hak berketurunan sejatinya ciptaan Tuhan (sunnatullah), jika manusia menghalangi sunnatullah itu dengan paksa, maka sama saja “menentang” kehendak Tuhan, hal yang sangat dihindari oleh para dokter.
Asas otonomi, mensyaratkan segala pikiran pertimbangan dan keputusan dokter yang akan dikerjakan wajib diketahui, disadari, dan disetujui oleh pasien. Bahkan, untuk tindakan yang berpotensi merusak jaringan, diperlukan surat persetujuan tertulis. Untuk itu, terhukum kebiri berhak meminta dokter mentaati UU Praktik Kedokteran (2013), jadi pelaku berhak menolak. Pertanyaannya, apakah pemerintah dapat memaksa dokter dan perawat melanggar etika dan sekaligus melanggar UU?
Secara teori Kode Etik sangat mempribadi sifatnya sebagai (akhlaqul karimah) yang melekat kuat dalam keprofesionalitasan, sementara hukum adalah kehendak negara (command of sovereignty). Keduanya memang dapat seiring sejalan manakala ada muara pertemuan, yaitu sama-sama untuk kepentingan kemanusiaan. Akan tetapi, akan saling bertentangan bilamana yang satu sudah memasuki wilayah “politik” seperti halnya Perppu No.1 Tahun 2016 ini. Politik lebih sering melihatnya sebagai “alat” kuasa tanpa mempertimbangkan aspek humanisme. Atas dasar itu, sebaiknya ke depan produk hukum (pemerintah) harus sinergis dengan kode etik profesi apa pun dengan titik temunya demi kemanusiaan dan keadilan.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kejahatan dan kekerasan seksual khususnya pada anak-anak yang pada tahun 2016 ini cenderung menunjukkan peningkatan baik kualitas maupun kuantitasnya memang mencemaskan. Seperti dicatat oleh berbagai lembaga yang membawahi anak-anak yaitu Komnas Anak dan Komnas Perempuan, atau berbagai media massa. Masyarakat dan pemerintah pun akhirnya sepakat bahwa jenis kejahatan ini telah masuk dalam kategori kejahatan “extra ordinary crime” atau darurat kejahatan. Tak pelak pemerintah pun lalu bereaksi dengan menerbitkan PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sayangnya, Perppu ini bukanlah tanpa masalah baik secara teori maupun implementasi hukum, terutama hukum internasional. Paling tidak ada tiga hal yang mengandung “keunikan” atau inkonsistensi di dalamnya.
Pertama, materi muatan dalam Perppu dengan menambahkan pemberatan hukuman “kebiri” inkonsisten dengan konvensi PBB tahun 1984, padahal Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Artinya, seharusnya jika konsisten dengan konvensi itu Indonesia harus mencari hukuman yang lebih bijak dan manusiawi. Secara teori pemberatan pidana apalagi yang bersifat “menyiksa” fisik seperti kebiri, dibanyak negara sudah ditinggalkan. Terkesan pemberatan pidana lebih mirip hukuman balas dendam, dimana didalamnya terkandung emosi.
Kedua, hukuman dengan mengebiri pelaku, dimana “eksekusinya” harus dilakukan oleh dokter ternyata ditolak oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia). IDI berargumen, antara hukum positif (Perppu) dengan Kode Etik Profesi Kedokteran, ternyata substansinya berlawanan. Ada asas-asas yang jika eksekusi itu tetap dilakukan oleh para dokter akan terlanggar. Mereka memilih menolak atas dasar Ketuhanan dan kemanusiaan.
B. Saran Pertama, konvensi PBB sebagai policy universal, yaitu jika negara Indonesia telah meratifikasi, harus konsisten ditaati. Bahwa sikap inkonsistensi negara terhadap hukum produk PBB akan membuat dunia internasional menyorot Indonesia sebagai negara yang tidak jelas standar hukumnya. Pada banyak negara ketaatan hukum, kedisiplinan menjadi ukuran sejauh mana sebuah negara disebut maju. Hukum yang tegas, konsisten menggambarkan sebuah peradaban negara/bangsa disebut maju.
Kedua, Sebaiknya sebelum sebuah produk hukum diterbitkan, apalagi terkait dengan profesi tertentu, dapat didialogkan. Dibuat semacam matrik plus-minus jika profesi itu harus dilibatkan, sehingga tidak terjadi hukum terkesan verus dengan kode etik profesi. Dialog akan menjernihkan persoalan, dan lebih dari itu substansi dan kesinergian akan lebih mudah dipertemukan.
Commentaires